Membuka diri terhadap orang lain (self disclosure) itu ibarat
mata uang, memiliki dua sisi. Di satu sisi berarti memasuki hubungan
yang lebih matang. Di sisi lain, terdapat risiko dicemooh dan
dikhianati. Bagaimanapun, self disclosure merupakan isyarat berkembangnya hubungan yang sehat yang perlu dikelola.
Kadang-kadang
kita dibuat kagum oleh seseorang yang dengan sangat terbuka dapat
menceritakan apa saja yang ia pikirkan, rasakan, dan inginkan. Meskipun
banyak kesulitan atau kekurangan, hidup seolah dirasa sebagai hal yang
ringan, dan dilakoni tanpa beban.
Kita dapat menjadi lebih
nyaman berinteraksi dengan pribadi seperti itu. Karena ia terbuka, kita
pun dapat menjadi lebih terbuka, dan akhirnya relasi berlangsung lebih
akrab dan saling percaya.
Namun, pada kesempatan lain kadang
terjadi sebaliknya. Kita justru merasa muak dengan seseorang yang
terlalu membuka diri sampai ke hal-hal yang sangat pribadi, yang
menurut kita tidak pantas untuk diceritakan kepada orang banyak.
Sebut
saja namanya Mr X, kepada teman-teman di luar lingkungan kantor ia
menceritakan bagaimana kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di kantornya:
bahwa proyek di departemennya itu hanya 20 persen yang
dioperasionalkan, dan 80 persen lainnya dibagi-bagi di antara pimpinan
dan karyawan tertentu, termasuk dirinya. Ia menceritakan hal itu bukan
didasari oleh keprihatinan karena ia sendiri senang menerima bagian.
Pada
saat lain, Mr X menceritakan bahwa ia sedang ada janji dengan seorang
bos untuk sama-sama pergi ke tempat praktik seorang paranormal demi
keperluan tertentu. Bukan untuk urusan penyakit atau gangguan lain,
tetapi buat melancarkan suatu tujuan yang tidak ia ceritakan. Cerita
tersebut di lingkungan orang-orang yang hidup dengan budaya penuh etika
bukannya menimbulkan simpati, malah menghasilkan cemoohan.
Hal
ini juga terjadi dalam percakapan yang semula akrab antara sopir taksi
(pria) dengan penumpang wanita. Pada akhir percakapan, si penumpang
yang semula senang mendengar kisah sehari-hari sopir taksi akhirnya
merasa terhina karena dia belakangan membanjirinya dengan kisah
keberhasilan berkencan dengan beberapa wanita penumpang taksinya.
Di
samping kondisi positif dan negatif seperti digambarkan di atas, ada
kondisi lain yang dapat kita jadikan referensi untuk menentukan kapan
dan bagaimana sebaiknya kita membuka diri.
Di sebuah
perusahaan, Lisa (bukan nama sebenarnya) nyaris mengalami PHK setelah
hampir setahun bekerja. Pasalnya, bukan karena ia tak punya kemampuan
atau melakukan penyimpangan, tetapi karena adanya masalah keluarga yang
mengganggu, sehingga kinerjanya sebagai asisten manajer sangat merosot.
Selama masalah itu berlangsung Lisa sangat gelisah, tetapi
tidak berani bercerita kepada atasan karena merasa tidak pantas
membicarakan persoalan pribadi dengan orang kantor. Singkat cerita,
ketika ia mendapat teguran atasan, akhirnya ia memberanikan diri
bercerita, dan akhirnya atribusi atasannya berubah.
Manajer
itu kembali menaruh kepercayaan atas kemampuan Lisa, dan ia sendiri
terus memberikan dukungan dalam mengatasi persoalan Lisa. Akhirnya Lisa
dapat bekerja lebih tenang karena dimengerti keadaannya. Dengan atasan,
meski tetap formal, berkembang pula relasi personal yang memberikan
rasa nyaman.
Di balik kisah-kisah di atas secara sepintas kita
dapat menemukan bahwa keterbukaan diri diperlukan, terutama dalam
hubungan-hubungan jangka panjang (persahabatan, perkawinan, pekerjaan,
dan sebagainya), dan bahwa perlu ada aturan main tertentu agar
keterbukaan diri itu bersifat konstruktif.
De Janasz, Dowd,
dan Schneider (2002) dalam bukunya Interpersonal Skills in
Organizations memberikan informasi mengenai bagaimana membuka diri,
manfaat, serta hal-hal yang menghambat.
Hal yang Diungkapkan
Ada rambu-rambu dalam pengungkapan diri agar hubungan menjadi efektif :
Lebih mengungkapkan perasaan daripada fakta
Bila kita mengungkapkan
perasaan terhadap orang lain, berarti kita mengizinkan orang lain
mengenali siapa kita sesungguhnya. Misalnya, informasi bagaimana kita
mengembangkan hubungan dengan saudara-saudari kita membuat orang lain
memahami kita, daripada sekadar memberikan informasi bahwa kita
memiliki saudara.
Semakin diperluas dan diperdalam
Mungkin
kita masih mengalami perasaan tidak nyaman berbagi pengalaman dengan
seseorang yang seharusnya dekat dengan kita. Untuk itu perlu dilakukan
pengembangan hubungan ke arah yang lebih dalam (lebih mengungkapkan
perasaan terhadap isu tertentu) dan diperluas (dengan mendiskusikan
berbagai isu, seperti pekerjaan, keluarga, pengalaman religius, dan
sebagainya).
Fokus pada masa kini, bukan masa lampau
Bila
berbagi pengalaman soal masa lalu menjelaskan mengapa dulu kita
melakukan tindakan tertentu adalah bersifat katarsis (melepaskan
ketegangan), tetapi dapat meninggalkan perasaan bahwa kita lemah. Hal
ini terjadi terutama bila keterbukaan tidak berlangsung timbal balik.
Jadi, lebih baik kita fokus pada situasi sekarang.
Timbal
balik
Kita harus selalu mencocokkan tingkat keterbukaan kita dengan
tingkat keterbukaan orang yang kita jumpai. Hati-hati, jangan terlalu
membuka diri secara dini, sebelum melewati masa-masa pengembangan
hubungan yang familier dan saling percaya. Di sisi lain, bila
diperlukan, tidak perlu menunggu orang membuka diri. Jangan takut untuk
memulai langkah penting membangun hubungan. Berikan contoh, dan orang
lain akan menyesuaikan diri. Bila orang tidak merespon secara seimbang,
hentikan langkah tersebut.
Banyak Manfaat
Keterbukaan
diri memiliki manfaat bagi masing-masing individu maupun bagi hubungan
antara kedua pihak. Dengan membuka diri dan membalas keterbukaan diri
orang lain, kita dapat meningkatkan komunikasi dan hubungan dengan
orang lain.
Secara rinci manfaatnya adalah :
Meringankan
Berbagi dengan orang lain mengenai diri atau persoalan
yang kita hadapi, dapat memberikan kondisi psikologis yang meringankan.
Misalnya, cerita tentang ketidakmampuan menghadapi ujian atau
berakhirnya hubungan dengan seseorang. Bagaimana kita mengatasi hal
itu? Bagaimana pandangan orang lain? Dengan membuka diri, kita
memperoleh tambahan perspektif yang membantu diri sendiri melihat titik
frustrasi dari sudut pandang orang lain.
Membantu
validasi (menguji ketepatan) persepsi terhadap realita
Dengan sudut
pandang sendiri, kita mungkin cenderung menggunakan ukuran yang
idealistis menurut diri sendiri. Bila kita mengomunikasikan hal
tersebut dengan seseorang yang tepat (yang memberikan simpati,
suportif, dapat dipercaya, dan pendengar yang baik), kita tidak hanya
mendapatkan persetujuan, tetapi juga informasi yang diperlukan untuk
lebih memahami diri sendiri, yang kita perlukan agar memahami dunia
secara lebih realistis.
Mengurangi tegangan dan stres
Bila kita menghadapi ketegangan atau stres karena suatu hal, bila tidak
diungkapkan akan berkembang menjadi eksplosif (mudah meledak).
Sebaliknya, bila diungkapkan kepada orang lain, kita akan menemukan
jalan keluar. Andaikan tidak mendapat jalan keluar, setidaknya lebih
ringan karena kita merasa tidak sendirian. Hal ini justru dapat membuat
kita menjadi lebih dekat dengan orang lain dan menambah rasa nyaman
pada saat itu maupun dalam relasi selanjutnya.
Meringankan
fisik
Terdapat keterkaitan antara pikiran dengan sistem tubuh kita.
Adanya pengaruh positif pada pikiran (akibat pengungkapan diri),
berakibat pada fisik. Berbagi atau mengungkapkan diri dengan orang
lain, membuat stres kita berkurang, kecemasan berkurang, dan meredakan
juga detak jantung dan tekanan darah. Dengan kata lain, pengungkapan
diri dapat berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik, selain emosi.
Alur komunikasi yang lebih jelas
Dengan menunjukkan keinginan untuk
membuka diri terhadap orang lain, dan menghargai pengungkapan diri
orang lain, berarti kita meningkatkan kemampuan untuk memahami sudut
pandang atau perspektif yang berbeda. Dengan demikian, kita akan lebih
percaya diri untuk mengklarifikasi niat-niat atau makna-makna dari
orang lain. Adanya umpan balik lewat diskusi terbuka, kekaburan dalam
komunikasi diminimalkan.
Mempererat hubungan
Bila
antarekan lebih saling mengenal satu sama lain, terjadi efek timbal
balik: keterbukaan mengembangkan rasa senang yang semakin meningkatkan
keterbukaan dan berakibat makin kuatnya rasa senang. Tanpa pengungkapan
diri, tingkat keeratan hubungan dan kepercayaan berada pada level
rendah.
Dengan keterbukaan dihasilkan kepercayaan, dan dengan
kepercayaan dihasilkan kerja sama. Di dalam organisasi, kerja sama dan
saling percaya ini menentukan inovasi yang sangat penting agar tetap survive dan mampu berkompetisi.
Lebih
dari itu, hasil riset menemukan bahwa bila antarekan kerja semakin
menyukai kerja sama, mereka lebih produktif dalam mengerjakan proyek
atau dalam situasi tim.
Sumber : www.kompas.com
No comments:
Post a Comment