Seorang mahasiswa S2, koordinator kelas, sebutlah namanya Christin,
membuat teman-teman sekelasnya terheran-heran. Pasalnya, Christin yang
aktif, senang bercanda, dan memiliki postur tubuh bak atlet itu
ternyata memiliki kecemasan yang irasional, hanya karena mendengar kata
“kecoak”.
Dengan muka tegang ia sibuk menutup telinga dengan
saputangan tebal ketika teman-temannya bicara tentang kecoak. Ironis
kedengarannya. Kenyataannya, keadaan seperti ini benar-benar dialami
oleh sebagian dari kita, meski dengan intensitas dan objek yang
berbeda-beda.
Kecemasan merupakan salah satu bentuk emosi
negatif. Baik bersifat rasional maupun irasional ini merupakan
persoalan tersendiri bagi yang mengalaminya. Oleh sebab itu, kita perlu
memiliki keterampilan untuk mengatasinya.
Apa itu Kecemasan?
Perihal
rasa cemas, semua orang mengetahui dan pernah merasakannya. Namun,
untuk menjelaskan apa itu kecemasan kita mungkin memiliki jawaban yang
berbeda-beda.
Dalam Psikologi, ada yang menjelaskan bahwa
kecemasan merupakan ketakutan yang tidak realistis, suatu perasaan
terancam ketika merespon sesuatu yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh
mengancam. Ini berbeda dengan ketakutan, yang bersifat realistis,
benar-benar karena sesuatu yang menakutkan.
Untuk menghindari
pengertian antara cemas dan takut (juga dengan nervous dan tegang) yang
pada dasarnya tidak terlalu jelas perbedaannya, kita dapat berpegang
pada penjelasan yang diberikan Calhoun & Acocella (1990). Menurut
mereka, kecemasan merupakan suatu perasaan takut (realistis maupun
tidak), disertai peningkatan gejolak fisiologis.
Bagaimana kecemasan berkembang, khususnya yang tidak realistis?
Sigmun
Freud dengan teori psikodinamikanya menjelaskan, kecemasan yang tidak
realistis (seperti halnya kecemasan karena kecoak), merupakan gejala
dari rasa takut yang lebih mendalam. Biasanya berhubungan dengan alam
bawah sadar yang berkaitan dengan dorongan seksual atau agresif, yang
menerobos kontrol ego menuntut pemuasan, dan akhirnya menimbulkan
ketakutan luar biasa pada diri individu.
Lain halnya penjelasan
dari aliran perilaku (behaviorism) dengan tokoh-tokoh Watson, Skinner,
dll. Kecemasan yang realistis maupun yang tidak realistis menurut
mereka merupakan hasil pengondisian respon.
Contohnya, seorang
anak mengenal kecoak bersamaan dengan peristiwa lain yang mengerikan
(misalnya ia terkunci di kamar mandi dan menemukan gerombolan kecoak di
saluran pembuangan). Hasilnya, ia mempelajari dan merespon kecoak
sebagai makhluk yang mengerikan. Hal ini dapat terbawa hingga dewasa.
Kecemasan
mempunyai tiga komponen, yaitu emosional, kognitif, dan fisiologis.
Dalam komponen emosional, individu mengalami perasaan takut yang intens
dan disadari. Dalam komponen kognitif, peningkatan rasa takut akan
mengacaukan kemampuan individu untuk berpikir jernih.
Dalam
komponen fisiologis, tubuh merespon ketakutan dengan memobilisasi diri
untuk bertindak, baik dikehendaki ataupun tidak. Respon fisiologis ini
merupakan hasil kerja sistem saraf otonom yang mengendalikan berbagai
otot dan kelenjar tubuh.
Respon fisiologis ketika terjadi
kecemasan antara lain detak jantung meningkat, irama napas lebih cepat,
pupil mata melebar, proses pencernaan terhenti, pembuluh darah
menyempit, tekanan darah naik, kelenjar adrenalin dalam darah
meningkat. Itu semua menyebabkan individu menjadi tegang dan siap
melakukan tindakan menyerang atau melarikan diri dari situasi yang ada.
Kecemasan,
bila terjadi dalam level sedang dan dalam keadaan memang ada hal yang
harus ditakuti (misalnya sedang menghadapi wawancara kerja), merupakan
hal normal. Akan menjadi masalah bila kecemasan terlalu tinggi dan
tidak sesuai dengan situasi yang ada (tidak realistis).
Kecemasan
semacam ini akan memerosotkan sumber daya fisik dan fisiologis kita.
Lebih jauh lagi, dapat mengurangi rasa berharga, merasa kecil, dan
tidak berdaya.
Menganalisis Kecemasan
Pola
kecemasan berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain.
Perbedaan itu antara lain dalam hal penyebab yang memicu kecemasan
(anteseden), keadaan cemas itu sendiri (tingkat kecemasan, gejala), dan
konsekuensi yang ada setelah terjadi kecemasan.
Untuk mengendalikan kecemasan, terlebih dahulu kita perlu melakukan analisis terhadap kecemasan tersebut.
Pertama
Kita tentukan apa yang membuat kita cemas:
Karena melihat kecoak?
Karena harus mengalahkan orang lain dalam suatu hal (kompetisi)? Atau
karena menghadapi soal-soal ujian?
Bila kecemasan itu karena kecoak, perlu dipastikan apakah bulunya yang membuat cemas? Atau baunya?
Dalam
situasi seperti apa kecemasan terhadap kecoak itu muncul: Kalau
melihat? Kalau mendengar kata kecoak? Kalau melihat di kamar? Hanya
kalau malam atau sembarang waktu?
Kedua
Kita
menentukan penyebab internal (dari dalam diri), yakni dengan memeriksa
kecemasan itu sendiri: Apakah yang kita pikirkan dan kita rasakan saat
terjadi pengalaman kecemasan itu?
Bila kecemasan karena kecoak,
perlu diperiksa: Apakah bayangan kecoak bergerombol muncul kembali
setiap kali melihat kecoak? Apakah kecoak itu membangkitkan rasa muak
yang luar biasa? Ataukah kecoak mengingatkan pada peristiwa mengerikan?
Ketiga
Kita
mendeskripsikan konsekuensi dari kecemasan itu. Apa yang kita lakukan
dengan mengalami kecemasan? Bila cemas karena kecoak, perlu
dideskripsikan respon apa yang terjadi setelah timbul kecemasan: Apakah
kita lari, bersembunyi, atau menghindar? Seperti apa akibatnya terhadap
tubuh, terhadap perasaan, dan terhadap pikiran (kognisi)?
Mengelola Kecemasan
Setelah melakukan analisis, kita dapat menentukan tindakan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya.
Perencanaan lingkungan
Berbagai
stimulus (objek, orang, situasi) yang membuat kita mengalami kecemasan
bukanlah hal yang harus kita hadapi. Kita berhak menghindari
stimulus-stimulus tersebut.
Contohnya,
Film horor bukanlah
sesuatu yang harus kita tonton. Bila kita cemas/takut, kita dapat
menghindari dengan tidak menontonnya. Bila takut kecoak, kita dapat
menghindarinya di rumah dengan cara membasminya. Di luar rumah, kita
dapat menghindari kecoak dengan cara sebisanya menghindari
tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang kecoak.
Namun,
tidak semua stimulus yang membuat cemas dapat kita hindari begitu saja.
Contohnya, kecemasan tinggi yang terjadi setiap kali mau ujian,
berbahaya bila kita atasi dengan menghindari ujian. Untuk itu kita
perlu mengatur agar kecemasan sewaktu ujian dapat berkurang dengan cara
belajar sampai tuntas dsb. Kalau kita cemas setiap kali orangtua
bertengkar, tentu saja kita tidak cukup hanya menghindari orangtua
kita. Kita berhak meminta mereka tidak bertengkar, mengatasi konflik
dengan cara dialog yang baik.
Pendek kata, menghindar
merupakan cara yang paling umum dipilih dalam perencanaan lingkungan.
Namun, cara menghindarinya perlu kita pikirkan, agar hal lain yang
lebih penting tidak dikorbankan.
Relabeling dan self-talk
Bila
kita tidak dapat mengindari stimulus yang membuat kita cemas, cara lain
yang dapat dilakukan adalah mengurangi pemicu internal, yakni di dalam
diri kita sendiri. Biasanya berupa pikiran dan ungkapan-ungkapan
negatif yang diikuti dengan emosi negatif.
Bila kita selalu
cemas saat menghadapi ujian, mungkin itu karena kita dalam hati
berpikir tentang kemungkinan gagal, tentang soal-soal yang tidak dapat
dijawab. Oleh sebab itu, kita perlu mengganti dengan keyakinan dan
perkataan positif terhadap diri sendiri, “Mungkin tidak mudah, tetapi
aku akan dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik setelah aku
belajar sungguh-sungguh.”
Dalam kasus kecemasan terhadap
kecoak, bila semula kita menganggap kecoak sebagai monster yang
mengerikan, ganti dengan pikiran bahwa kecoak hanya seekor serangga
yang tidak berbahaya. Kita dapat mengatakan pada diri sendiri, “Aku
pasti dapat menghadapi kecoak karena nyatanya kecoak hanyalah serangga
yang tidak berbahaya seperti jangkrik.”
Kita tidak perlu
menyatakan sesuatu yang terlalu optimistis, cukup yang realistis.
Relabeling dan self-talk ini dapat menghambat respon cemas yang
biasanya terjadi secara otomatis.
Desensitisasi
Respon
cemas sedapat mungkin harus diubah agar kita tidak lagi mengalami emosi
negatif bila mendapat provokasi stimulus yang membuat cemas. Cara yang
sangat efektif adalah desensitisasi. Desensitisasi terdiri dari dua
langkah: rileksasi dan secara bertahap mengalami stimulus yang membuat
cemas.
Rileksasi dilakukan dengan cara melemaskan seluruh otot
tubuh, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Latihan ini untuk setiap
bagian tubuh disertai mengatur pernapasan perut (napas panjang).
Pernapasan panjang dimulai terlebih dahulu sebelum melemaskan
bagian-bagian otot tubuh.
Setelah dicapai keadaan rileks,
selanjutnya mulai berlatih menghadapi stimulus yang membuat kita cemas.
Hal ini dapat dengan cara membayangkan (dapat dilakukan dengan gambar)
maupun sungguh-sungguh menghadapinya. Tampilan stimulus, misalnya
kecoak, diperlihatkan dalam keadaan yang paling tidak mencemaskan
(misalnya hanya tampak sedikit sayapnya di balik bunga).
Setelah
berhasil, secara bertahap stimulus ditampilkan dalam keadaan yang
sedikit mencemaskan, misalnya satu sisi sayap kecoak tampak di balik
bunga). Demikian seterusnya.
Kombinasi rileksasi dan latihan
menghadapi stimulus ini dilakukan hingga seseorang benar-benar tidak
lagi cemas menghadapi stimulus itu apa adanya.
Sumber : www.kompas.com
No comments:
Post a Comment